KECEWA
Waktu begitu cepat meninggalkan masa lalu, menjadikannya sebagai
lukisan sejarahmu dan sejarahku. Tidak perduli apakah itu indah atau pahit
untuk kita. Semua sudah berlalu. Kau sedang menaruh harapan pada cita-cita
menjadi “orang”, meski harus mendaki terjalnya cobaan, menggulati lumpur
wawasan, menemani buku-buku di rak-rak perpustakaan. Begitulah, itu yang
membuat engkau tetap kuat berkutat dengan buku-buku, mengambil kata demi kata
lalu kau simpan dalam almari ingatanmu. Dengan begitu engkau akan menjadi orang
bergelar kalau waktunya sudah tiba. Jangan memandang kesulitan-kesulitan atau
rasa bosan yang meliput. Engkau wanita tegar. wanita kuat. Engkau harus tetap
bertengger di tangga itu Suara berderit pintu bamboo terbuka pertanda sang
pemilik rumah bersedia membukakan pintu untuk menerima tamunya.
“ Oh, Mas Burhan, monggo
Mas, mari silahkan masuk!”wanita setengah baya itu mempersilahkan masuk.
Wajahnya sumringah menyambut kehadiran Burhan. “Maaf mas, tempatnya
berantakan”,sembari mempersilahkan duduk pada tamunya, dia bergegas masuk ke
dalam. Hening. Tiada suara. Burhan menatap jengkal demi jenglkal ruangan rumah
itu. Lantainya tanah, jendela tua- barangkali lebih tua umurnya ketimbang
pemiliknya. Atap rumah sudah mulai rapuh, dan satu dua gentengnya melorot tak
diperbaiki, khawatir ambruk. “Eh Mas Burhan, sudah lama? Gimana kabarnya?”Suara
itu memecah lamunan Burhan. Suara wanita yang ramah, anak gadis pemilik rumah. “
Oh dek Muna, baru saja, baik-baik saja” Burhan menjawab dengan sedikit gugup.
Wanita inilah yang membuat Burhan kagum. Keuletan, kegigihannya untuk maju
begitu kuat walau orang tuanya tergolong orang tidak mampu, ia tidak bergeming
untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi.
Saat pertama mengenalnya, dia sudah dua tahun merantau ke kota
untuk study. Pertemuan tak sengaja diatas angkot menyeret Burhan pada pertemuan
demi pertemuan. Seperti ada magnet yang menarik dan memaksanya menjalin
pertemuan demi pertemuan itu. Kadang Burhan berpikir, bukankah tidak ada yang
istimewa dari wanita ini. Dia wanita pada umumnya, sederhana, banyak omong,
serta penampilannya tetap ndeso. Apa yang membuatku terpikat pada Muna? “Maaf
mas, silahkan diminum, maaf ya lama” sang ibu yang sedari tadi menghilang,
tiba-tiba menyodorkan air minum. “Wah repot-repot bu, matur nuwun,” Burhan
menganggukan kepala, sang ibu kembali menyelinap ke dalam, seakan tahu kalau
tamunya punya keperluan dengan anaknya. “ Dek Muna, bolehkah aku mengatakan sesuatu
?”. “ Oh silahkan Mas Burhan, memang ada apa?”. “ Begini, kita kan sudah
menjalin kedekatan sudah hampir dua tahun, bagaimana kalau orang tuaku datang
kemari untuk melamarmu? “ Bukannya aku menolak mas, tapi aku kan masih ingin
menyelesaikan studyku, aku tidak ingin gagal dalam urusan ini, tolong Mas
Burhan mau menghargaiku kalau memang Mas Burhan mau dekat denganku. Toh selama
ini kita hanya menjalin pertemanan, aku ingin menyelesaikan dulu studyku. Atau
kalau Mas Burhan mau menikah, lebih baik menikah dengan orang alin yang sudah
siap !”. Tentu saja jawaban ketus ini mengagetkan Burhan. Jawaban ini tak
pernah terlintas dalm benaknya. Ia paling sulit menerima penolakan seperti itu.
“ Apakah sekarang ini bukan saat yang tepat untu mengatakan hal itu? Bukankah
aku telah menunggu sekian lama, dan kupikir kini saat yang paling tepat?”
Burhan berbisik dalam hati.. Suasana menjadi tenang, diam, hening, hanya
semilir angin yang mengusik masuk lewat lubang-lubang dinding bamboo menerobos
pori-pori Burhan. Dingin menusuk, seperti kata-kata yang keluar dari mulut
Munayah menikam hati Burhan. Tak ada lagi kata-kata keluar dari Burhan selain
minta diri pada tuan rumah. Dan segera memacu seribu langkah meski dengan
langkah gontai, membawa bermacam-macam penafsiran tentang arti jawaban Muna.
Malam itu tak ada bintang bertaburan, awan seakan menari turut mempermainkan
perasaan Burhan. “Apakah dia banyak memiliki pilihan untuk dijadikan tambatan
hati, apakah aku salah menafsirkan kedekatanku selama ini? Burhan diliputi banyak
pertanyaan. Tempat tidur tidak lagi nyaman untuk meletakan tubuh, berpindah ke
kursi lalu membuka jendela dan membiarkan dingin menyerbu pori-porinya.
Memandang ke luar , barangkali disana ada jawaban yang bisa ditemukan. Kembali
ia melangkah ke dipan dan merebahkan tubuh, berusaha memejamkan mata. “Aku
sangat kecewa dengan jawabanmu Muna” Ia bergumam penuh kekecewaan, sembari
membanting bantal untuk menumpahkan kekecewaannya itu. Seminggu, sebulan,
bahkan hingga satu tahun tiada lagi pertemuan dengan Munayah. Perasaan kecewa
sudah tidak mampu ditutupi dengan keinginan bertemu. Kecewa pada diri sendiri.
Itulah alasan utama mengapa ia tak lagi mau berkunjung ke rumah tua di lereng
pegunungan itu. Semangat heroik seorang pemuda begitu saja padam. Tak ada lagi
keinginan bertanya mengapa, kenapa, dan kenapa. Suara musik mengalun dari
sebuah rumah sebagai pertanda adanya pesta sedang diselenggarakan. Pesta untuk
menyambut tamu yang hendak memberi do’a restu kepada mempelai. Hari itu Burhan
resmi menikah dengan Sri, wanita yang dikenalnya tiga bulan lalu. Sri, mau
menerima dirinya sepenuh hati. Stu hal yang ingin ia tunjukan adalah dia mampu
menjadi lelaki yang bertanggung jawab. Saat isterinya tidur, Burhan melangkah
ke luar kamar. Diambilnya sepucuk surat yang diserahkan seorang anak untuknya.
“Selamat atas pernikahanmu Mas, semoga engkau bahagia
bersamanya. Sebetulnya aku sangat menunggu kehadiranmu dari waktu ke waktu,
tapi engkau tiada pernah datang. Aku masih sendiri hingga kini”. Dari seorang
yang pernah menyayangimu Munayah Kenapa baru kini engkau mengatakannya Muna? Ah
aku tak mau terbawa perasaan lagi. Aku sangat menghargai Muna, cita-citanya
yang tinggi, dan satu keinginannya adalah menjadi bu nyai. Akupun membiarkannya
terbang tinggi untuk merai citanya. Aku mencoba mengalah dengan segala beban
perasaan yang sungguh berat.
Perlu waktu untuk mengobati luka hati. Sebetulnya seminggu
sebelum pernikahan Burhan, Muna pernah menyampaikan keinginannya untuk bertemu.
Ah untuk apa aku menemui Muna, hanya akan membuat luka lama kambuh kembali.
Burhan tak ingin lagi bertemu hanya karena menjaga diri. Dirinya adalah lelaki
yang sangat tinggi perasaannya. Dia tak ingin terjebak ketika bertemu dengan
orang yang begitu dikaguminya. “Biarlah semua menjadi sejarah diriku, dan
keputusanku sudah bulat untuk tidak menemui Muna”. Aku tak mau memberi maaf
untuk orang yang sudah mempermainkan perasaanku. Sembilan tahun sudah berlalu,
tapi sisa-sisa kekecewaan kadang menyelinap saat bayangan rumah tua itu muncul.
Bagaimana harus kukubur ingatan-ingatan itu, agar aku legawa menerima masa
laluku. Bukankah Muna sudah berbahagia bersama suami keduanya, setelah suami
pertamanya meninggal, dan suaminya memboyongnya ke luar jawa. Seorang pria yang
punya pengalaman mengajar selama tujuh belas tahun di Jawa Timur. Tiba-tiba aku
teringat gempa dahsyat yang terjadi beberapa waktu lalu, bukankah Muna berada
di salah satu kota itu? Jangan-jangan…………….
Kebumen, akhir 2009
Komentar
Posting Komentar