SEGALANYA DEMI CINTA
Kepada siapa mesti mengeluh.segala keluhan ini tak kunjung sirna. Keluhan
menghimpit, mendera dari waktu ke waktu. Menghapus kehormatan sebagai anak
manusia,menghempas lautan harapan meraih kebahagiaan. Terlebih lagi setiap
tangan dan kaki bergerak yag teraih hanyalah keeping –keping kenistaan.
Terpenjara dalam ruang sempit kemiskinan. Tangan-tangan ajaib hanya
melambaikan keangkuhan. Menebar pesona hinggap keterpenjaraan ini. Dari
waktu ke waktu ada keluhan. Hari ini, pagi-pagi sekali,telah kudorong
gerobag tempat akuu berjualan rokok, minuman, makanan kecil, dan beberapa
barang lainnya. Tujuanku berjualan di bawah pohon besar dekat perempatan.
Mungkin aku dapat banyak pembeli di sana. Terlebih ini hari minggu, tentu
banyak orang berolah raga di lapangan. Setelah sampai ditempat tujuan, aku
segera menatta barang dagangan agar kelihatan oleh par pembeli. Mungkin
ada barang yang mereka butuhkan. Setelah semua selesai, aku membuka koran.
Satu-satunya hiburan menunnggu datangnya pembeli untuk mengenyahkan rasa
suntuk.
“Pak beli rokoknya!” Suara itu membangunkanku. “ oh ya mas,” dengan
sedikit gugup aku serahkan sebungkus rokok.”Ambil kembaliannya untuk bapak
saja!” ank muda itu sgera berlalu setela enampik uang kembalian yang akan
kuberikan. “Trima kasih mas” Aku berharapia masih mendengar ucapan terima
kasihku, meski langkahny begitu cepat membawa tubuh itu menghilang di
belokan jalan. Seminggu lalu, gerobak beserta isinya diangkut paksa dengan
alas an kegiatanku mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Aku mengeluh.
Darimana lagi bisa aku dapatkan modal untuk berjualan lagi, sementara
perut-perut kami harus selalu diisi. Meski aku berusaha membawa lari
dengan sekuat tenaga, aku tak mampu memepertahankan gerobak itu.
Tangan-tangan kuat terlalu tangguh untuk mempertahankan hak miliku.
Sesuatu yang ku peroleh dengan tetesan keringat dan kesabaran waktu, kini
telah berpindah tangan.n Jeritanku bagai angin lalu yang tak mengubah
apapun. Tangisku adalah hiburan bagi wajah-wajah bengis kekuasaan.Betapa
pedihnya. Aku harus bilang apa pada anak isteriku. Dari mana aku akan
dapat modal lagi. Sandaran hidup kami direbut paksa…..Oalah …. Kami memang
menggantungkan diri pada juragan uang yang mau berbaik hati melemparkan
sejumlah uang yang aku perlukan. Dengan begitu aku bisa kulakan dagangan,
dan saat pulang aku bisa tetap memberi istriku nafkah. Nafkah yang dapat
membuatnya sedikit tersenyum, meski sebuah senyum yang dipaksakan. Dan
dengan kebaikan juragan modal itu aku harus rela berbagi keuntungan yang
sebenarnya sudah sangat kecil. Aku tetap menganggap mereka sebagai dewa
penolong.
Bagaimana tidak? Untuk memperoleh sedikit pinjaman untuk modal saja, banyak syarat ini itu kalau ingin cair. Orang-orang kecil seperti kami, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan harian dari mana dapat memperoleh agunan untuk pinjaman. Tempat tinggalpun hanya menumpang. Pinjam pada saudara tentu terbatas. Sekali dua kali barangkali mungkin masih bisa, tapi aku masih punya rasa malu. Karena kesulitan hidup itulah aku nekad memberanikan diri memboyong keluargaku ke kota. Kata banyak orang, kota memberi kita banyak harapan. Mudah memperoleh uang, mudah cari pekerjaan. Akupun terpikat dengan janji-janji itu, maka terdamparlah aku di kota ini. Aku kembali membuka Koran itu. Di sebuah lembaran aku membaca berita pencopetan. “ Dua hari lalu terjadi pencopetan di sebuah gang Podomoro. Peristiwa tesebut terjadi pada wakyu maghrib, sehingga tidak ada saksi yang melihat peristiwa itu. Korban menuturkan, dirinya baru turun dari angkot dan ketika hendak memasuki jalan gang, tiba-tiba ada seseorang yang merebut tas berisi uang, HP, dan surat penting lainnya. Kerugian ditaksir sekitar lima juta rupiah. Cirri-ciri pelaku berumur sekitar empat puluh tahun, tinggi seratus enam puluh senti, tubuh kurus, rambut lurus, dan berkumis.” “Bang setorannya bang,” seseorang dengan postur tegap mengulurkan tangan meminta setoran uang keamanan. Kulempar uang dua ribu sisa kembalian yang diberikan oleh pemuda yanmg membeli rokokpun telah berpindah tangan. Hidup memang harus berbagi. Mereka mengandalkan kami yang berjualan di wilayahnya.
Mereka tak mau tahu masalah kami, yang mpenting kami harus setor. Kami sama-sama orang kecil, ibarat rumput kami yang harus diinjak. “ Hai ,kenapa kamu masih berjualan disini? Mulai hari ini dilarang berjualan disekitar sini!” Tiba-tiba saj orang-orang berseragam mengepung.” Jika aku tidak boleh berjualan dikeramaian, apa aku harus berjualan di pekuburan, atau ditengah sawah?” Batinku. Orang kecil memang tak berdaya. Buat mengais rejeki begitu sulit. Jangankan untuk membiayai sekolah anak-anakku, untuk biaya hidup sehari-hari saja kadang tak mencukupi. Mereka segera berlalu. Ketika aku sedang mengemasi barang dagangan, tiba-tiba ada dua orang saling berbisik, dan tanpa berkata langsung menyeretku. “ kami petugas, katakan dimana hasil copetanmu kamu simpan? Ayo ngaku! Mana kartu identitasmu?”. Tanpa babi bu lagi mereka menghajarku. Plak plak plak … Ada puluhan pukulan mengenai wajahku. Dan satu pukulan telak ke ulu hati membuatku terkapar dan tak lagi sadar apa yang terjadi. “ Mas, mas, bangun! Kita hampir sampai, kemasi barang-barangnya, aku sama anak-anak.” Suara isteriku membangunkan tidurku. Kereta yang membawa kami berlima kembali ke tempat kelahiran memang hampir sampai. Hampir tujuh tahun kami meninggalkannya dan kini kami kembali untuk merajut kembali harapan dan mimpi-mimpi kami. Di desa, kami ingin membangun kembali semangat yang hampir mati. Apapun akan ku lakukan demi cinta.
Komentar
Posting Komentar